Syaifur Rizal Sebuah jurnal

Pertaruhan Bisnis

Di salah satu pertigaan di daerah timur kota Semarang ada area bisnis yang ditempati oleh—setahu saya—sepuluh orang; dimana enam dari mereka membuka usaha makanan dan minuman, dua membuka usaha pemasangan gigi palsu, satu orang membuka usaha pakaian muslim, kemudian satu orang lagi membuka usaha laundry. Bisnis mereka ini sejak tengah tahun lalu tampaknya bisa berjalan dengan lancar kecuali satu orang yang menempati sisi pojok selatan area bisnis tadi.

Area bisnis yang memiliki luas kurang lebih 4000 m² itu dimiliki oleh satu orang yang dipetak-petak dan kemudian disewakan; dan sejak kali pertama saya tahu tempat itu—tahun 2019—sudah beberapa kali lahan yang berada di sisi pojok selatan tadi selalu berganti penyewa.

Saya tidak bisa membayangkan nilai kerugian yang ditanggung oleh orang-orang yang menyewa area pojok selatan itu. Untuk nilai sewanya saja yang terakhir kali saya tahu di akhir tahun 2022 kemarin adalah Rp 40.000.000 per tahun. Itu masih belum dengan renovasi tempat, barang-barang properti untuk dagang, gaji pegawai, dan bahan-bahan makanan yang akan dijual; kebetulan yang menyewa lokasi itu selalu membuka usaha makanan.

Kini di tengah Juni 2023, sudah ada penyewa baru lagi yang akan membuka rumah makan mi khas Aceh yang baru akan buka di awal bulan berikutnya. Untuk pemilik baru ini dari obrolan orang-orang yang berada di lingkungan itu kabarnya mereka telah menghabiskan modal Rp 130.000.000 untuk sewa dan renovasi. Ini jumlah uang yang mencengangkan bagi saya yang sampai sekarang masih seorang karyawan dan belum pernah membuka bisnis riil.

Bisnis mi Aceh yang baru akan dibuka ini bisa dikatakan adalah cabang kedua dari bisnis mi Aceh yang sudah buka terlebih dahulu di tempat lain, yang lokasinya dekat dengan area kos-kosan mahasiswa salah satu Universitas besar di Semarang. Hanya saja cabang baru ini bukanlah inisiatif dari pemilik mi Aceh di daerah dekat kos-kosan mahasiswa tadi, melainkan teman kuliahnya. Pemilik mi Aceh cabang pertama tadi hanya urun modal berupa resep masakan dan pengelolaan; atau kerennya bisa dikatakan sebagai pemilik franchise. Sedangkan yang satunya lagi, teman kuliah dari pemilik franchise-lah yang sepenuhnya menyetor modal uang sebesar Rp 130.000.000 tadi. Untuk selanjutnya kita sebut pemilik franchise tadi si A dan pemodalnya si B.

Si B sendiri sebenarnya bukan pendatang baru dalam berbisnis. Dia sebelumnya pernah memiliki toko material bangunan di kota lain. Akan tetapi karena pandemi beberapa waktu lalu, bisnis toko material bangunannya terpaksa harus gulung tikar karena terus merugi. Si B menjadi tertarik untuk membuka bisnis mi Aceh karena melihat kawannya si A yang menurutnya sukses berbisnis; kabarnya hanya dalam waktu satu tahun si A bisa membeli mobil baru yang dibayar cash, tunai, dari sebagian keuntungan bisnis mi Acehnya.

Saya kalau melihat track record si A dalam mengelola bisnis mi Acehnya tentu saja juga akan tergiur. Bukankah hal itu sama saja dengan ketika akan membeli suatu saham, yang mana hal pertama yang akan dilihat adalah track record perusahaan dari saham tadi; kemampuan perusahaan menghasilkan laba. Si A yang dalam waktu setahun mampu membeli mobil baru yang dibayar tunai bisa menjadi indikasi bahwa laba yang bisa didapatkan tentunya cukup besar. Mengingat tidak mungkin jika semua laba dalam setahun seluruhnya digunakan untuk membeli mobil. Karena mestinya laba yang diterima si A tadi sudah dipotong untuk operasional usaha, kebutuhan dia bulanan dalam setahun, dan mungkin bisa juga tabungan; baru kemudian sisanya digunakan untuk membeli mobil.

Tetapi jika kemudian mengingat kembali bahwa lokasi cabang baru yang di tempati si A dan si B tadi sudah beberapa kali membuat penyewa lokasi sebelum-sebelumnya gulung tikar, apakah usaha mi Aceh ini akan mengubah sejarah? Saya berharapnya sih mereka sukses.

Tunggu dulu! Jika Anda berpikir bahwa saya menganggap kegagalan usaha penyewa lahan sebelumnya terkait dengan hal-hal klenik, Anda salah. Yang ada dalam pikiran saya adalah apakah lokasi itu menjadi lokasi yang tepat untuk segmentasi jenis usaha yang akan dibuka; yang dalam hal ini adalah bisnis mi Aceh.

Sebelumnya di atas saya menuliskan bahwa ada sepuluh penyewa dimana enam di antaranya membuka usaha makanan dan minuman. Dari enam penyewa lahan itu hanya satu yang beberapa kali berganti penyewa. Dengan demikian ada lima orang penyewa lain yang bisnis makanan dan minumannya bisa berjalan lancar. Ini membuktikan tidak ada masalah dengan segmentasi bisnis makanan dan minuman.

Penyewa-penyewa lahan yang sebelumnya gagal, mereka semua membuka usaha makanan dan minuman berat; semacam warung tegal (warteg). Sedangkan lima penyewa lainnya lebih ke makanan dan minuman yang sifatnya komplementer atau bahkan jajanan. Sedangkan kini, penyewa baru yang akan membuka bisnis mi Aceh ini bisa dikatakan segmennya adalah makanan komplementer. Jadi mestinya penyewa baru ini lebih memiliki peluang bisa bertahan dibandingkan dengan penyewa-penyewa sebelumnya.

Diperbaharui: 2023-08-09