Syaifur Rizal Sebuah jurnal

Investasi Satu Lot

“Investing isn’t about beating others at their game. It’s about controlling yourself at your own game,” Benjamin Graham.

Jika saya mengatakan, “Beli selot,” di forum Stockbit, ketika itu saya benar-benar melakukan hal tersebut; yaitu membeli saham dari suatu emiten hanya sebanyak satu lot saja—dan itu sama sekali tidak ada maksud untuk menyindir siapapun karena terlalu berhati-hati atau takut ketika melakukan investasi.

Bahkan dulu ketika masih aktif-aktifnya mengkampanyekan investasi saham ke keluarga ataupun ke kawan-kawan dekat, saya selalu menyarankan sebagai permulaan dengan membeli saham hanya sebanyak satu lot untuk saham-saham dengan harga di atas Rp 1.000 perlembar atau maksimal modal Rp 100.000 untuk saham-saham dengan harga di bawah Rp 1.000 perlembar.

Semua itu tidak lain bertujuan untuk melindungi mental ketika harga tiba-tiba saja turun dan akan masih tetap merasa nyaman ketika melakukan average down.

Saya sadar betul bahwa uang senilai seratus ribu rupiah memiliki nilai yang berbeda bagi setiap orang. Ada yang menganggapnya seharga dua gelas besar kopi dan ada pula yang menganggapnya sebagai uang belanja untuk dapur selama beberapa hari.

Sampai sekarangpun saya pribadi masih mengimplementasikan prinsip investasi satu lot. Selain karena keterbatasan modal, saya juga sadar bahwa ada banyak aspek operasional bisnis yang tentunya tidak saya ketahui dari perusahaan yang sahamnya akan saya beli.

Tapi memang ketika melihat ada orang-orang di forum yang tanpa segan menunjukkan nominal modal beli mereka yang berjumlah ratusan juta hingga miliaran rupiah, ada rasa agak-agak minder; tapi saya selalu ingat bahwa minder tidak akan membuat kita maju.

Obat termudah bagi saya untuk mengatasi rasa minder tersebut adalah dengan membayangkan bahwa mereka yang menggunakan modal ratusan hingga miliaran rupiah merupakan para pedagang besar kelas grosir di pasar. Sedangkan saya yang menggunakan modal mungil, ibaratnya seperti pedagang kelontong kecil atau bahkan mungkin pedagang yang ngider berkeliling sambil membawa gerobak; dan itu tidak menjadi masalah karena semuanya sama-sama berdagang dan semua saling membutuhkan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Lagi pula sekarang dengan banyaknya sekuritas yang tidak lagi membatasi jumlah setoran awal ketika membuka rekening dana investor (RDI), artinya secara sistem kesempatan untuk ikut berpartisipasi di pasar modal sangat terbuka bagi siapa saja.

Bahkan saya ingat betul di pasar reksadana di sekitar tahun 2017-2018, pembelian minimal ketika itu kebanyakan berkisar di harga lima puluh hingga seratus ribu rupiah untuk tiap kali top up, tapi kini sudah ada yang harganya bahkan sampai sepuluh ribuan untuk tiap kali top up.

Ini menunjukkan bahwa mereka para pengelola reksadana juga berusaha agar instrumen yang mereka kelola akan tetap lebih menarik dan lebih terjangkau ketimbang berinvestasi langsung ke pasar modal.

Apakah Investasi Satu Lot itu Hanya Mebuang Waktu?

Sangat wajar ketika seseorang membandingkan antara usaha dan hasil yang kira-kira akan didapatkannya nanti; apakah antara keduanya itu sepadan atau tidak.

Jika dengan jumlah modal yang sama kita bisa mendapatkan hasil yang jauh lebih besar dengan perputaran uang yang jauh lebih cepat di luar pasar modal, sudah pasti menempatkan dana di pasar modal bukanlah sebuah pilihan yang bijak.

Saya pernah bertanya pada kenalan-kenalan yang memiliki bisnis usaha, baik kecil—rumahan—maupun yang agak lumayan besar, kira-kira berapa margin yang bisa mereka dapatkan; dan jawabannya beragam. Tapi setidaknya minimal mereka bisa meraup 10% hingga 30% laba bersih untuk sekali perputaran uang dan ada beberapa yang bisa mendapatkan 60% lebih.

Perputaran modal merekapun beragam. Ada yang mengatakan perputarannya harian, mingguan, termin tiga bulan, dan ada yang enam bulan hingga setahun. Rata-rata semakin lama perputaran uang yang dibutuhkan, semakin besar pula modal yang harus disiapkan, dan tentunya semakin besar pula potensial margin laba yang bisa mereka dapatkan.

Untuk mereka yang memiliki kemampuan untuk berbisnis dan lihai dalam memutar modal usaha seperti itu, berinvestasi di pasar modal tentunya akan terasa sangat lambat—dan bisa jadi akan terasa sangat tidak masuk akal.

Tapi bagi mereka para pegawai—termasuk saya—yang sumber pendapatan utamanya berasal dari gaji, investasi di pasar modal setidaknya bisa membantu untuk melindungi nilai uang tabungan dari inflasi harga dari tahun ke tahun—tentu saja hal tersebut bukan berarti tanpa resiko.

Memaksakan mereka yang lebih nyaman dengan pendapatan berupa gaji bulanan untuk berbisnis, tentunya akan jauh beresiko. Terutama jika hal itu akan membuat pekerjaan utama mereka menjadi kacau balau.

Anda tentunya akan kesal jika ada dosen yang jarang masuk kelas karena lebih sibuk mengurusi bisnis mereka sehingga Anda akan kesusahan ketika akan melakukan konsultasi skripsi. Atau kesal pada guru sekolah yang membocorkan soal ulangan hanya ke anak didik les privat mereka. Atau emosi pada pegawai yang tidak fokus dalam bekerja karena lebih disibukkan untuk mengurusi toko online mereka. Atau juga kesal dengan dokter yang tidak maksimal memberikan layanan di rumah sakit karena lebih berfokus dengan praktik pribadi mereka di rumah.

Tidak ada yang salah dengan menambah penghasilan dengan berbisnis sampingan. Tapi jika yang sampingan sampai membuat kewajiban di pekerjaan utama berantakan, sepertinya hal tersebut akan lebih banyak merugikan orang lain.

Investasi di pasar modal bisa menjadi solusi bagi mereka yang tidak nyaman untuk berbisnis secara langsung selama tidak menjadikan investasi di pasar modal tersebut sebagai sarana untuk berdagang dengan waktu yang singkat—yang istilah kerennya trading saham.