Syaifur Rizal Sebuah jurnal

Buku dan Saham

Tahun 2018 akhir ketika baru saja masuk di dunia saham, di forum Stockbit, kalau tidak salah ingat ada diskusi yang beberapa di antaranya menyebutkan bahwa masa depan penggunaan kertas sebagai media cetak tulisan terutama buku dan koran sudah pasti hampir berakhir. Argumen itu cukup beralasan karena beberapa penerbit koran dan majalah besar ketika masa itu juga mulai memfokuskan diri ke ranah digital; tidak hanya di luar negeri, tapi juga terlihat di dalam negeri.

Model-model artikel yang hanya bisa dibaca ketika pengunjung memiliki keanggotaan berbayar atau artikel pendek-pendek di media dengan tumpukan iklan di sekeliling artikel tersebut juga semakin banyak. Yang lebih parah adalah banyaknya muncul berita-berita dengan judul yang profokatif tapi dengan isi yang tidak jelas jluntrungannya dan bahkan sering diulang-ulang dari terbitan satu ke terbitan lain dengan hanya menambahkan satu atau dua kalimat sebagai pembaharuan berita.

Sekitar tahun itu juga, kalau tidak salah ingat, Grup Gramedia yang merupakan salah satu penerbit besar yang mencakup hampir segala jenis model cetakan buku, komik, majalah, dan koran, juga meluncurkan aplikasi portal khusus di perangkat pintar Android. Di aplikasi itu kita bisa membeli berbagai judul buku elektronik yang mereka terbitkan.

Selain itu juga di masa yang sama, Google dengan toko buku elektroniknya Play Book makin memberi kemudahan kepada pengguna mereka di Indonesia dengan memberikan alternatif pembayaran dengan cara pemotongan pulsa telepon seluler. Tidak lagi eksklusif bagi mereka yang memiliki kartu kredit atau kartu debit berlogo Visa atau Mastercard.

Oleh karena alasan-alasan di atas saya begitu yakin bahwa ketika ada salah satu pengguna Stockbit yang mencetuskan bahwa masa depan emiten TKIM, INKP, dan emiten lain yang terkait dengan kertas, masa depan mereka sudah suram. Meskipun sebenarnya saya juga tidak tahu jenis kertas apa yang emiten-emiten itu produksi, pokoknya setuju dengan pendapat itu.

Semakin yakin lagi ketika pada waktu yang tidak lama setelahnya, harga saham INKP dan TKIM tiba-tiba saja terus longsor di pasar saham. “Tuh kan-tuh kan”, kira-kira begitulah pikiran saya ketika harga saham di pasar memvalidasi apa yang saya yakini ketika itu.

Pada tahun itu karena sangat yakin bahwa masa depan buku cetak akan segera benar-benar tergantikan dengan buku digital, saya mulai memandang bahwa membeli buku fisik itu kuno, tidak praktis, tidak ramah lingkungan, dan bikin pusing kalau ingin mengoleksi karena selain memakan tempat, juga jika teledor sedikit buku bisa jadi mudah rusak. Oleh karenanya jika ingin membeli buku sebisa mungkin saya ketika itu akan memilih untuk membeli versi digitalnya jika ada.

Membeli buku digital membuat segalanya menjadi praktis. Saya bahkan bisa membawa seluruh koleksi buku yang saya miliki ke mana saja dengan mudah karena semua tersimpan di dalam ponsel pintar. Buku digital bisa dibaca sambil nongkrong di toilet tanpa harus kerepotan antara memegang buku atau memegang baju. Bisa juga dibaca di warung kopi tanpa harus kelihatan seperti seseorang yang salah memasuki acara pesta hajatan dengan dress code yang mencolok.

Tapi di antara segala keasyikan baru itu ada hal aneh yang agak mengganggu. Tanpa saya sadari jumlah judul buku yang saya baca jauh berkurang ketimbang ketika masih membaca buku dalam bentuk fisik. Selain itu waktu yang dihabiskan untuk membaca satu judul buku hingga selesai juga semakin panjang—dan bahkan lebih banyak buku-buku yang pada akhirnya tidak selesai dibaca.

Jangan bayangkan buku yang saya baca adalah buku-buku berat dengan jumlah halaman yang seperti tanpa akhir. Buku-buku yang saya koleksi lebih seperti novel-novel pendek, opini-opini pendek, atau buku motivasi yang sebenarnya hanya berguna sebagai reverensi memotivasi orang lain ketimbang memotivasi diri sendiri.

Hingga akhirnya beberapa waktu lalu saya memutuskan untuk mencoba membeli buku fisik kembali.

Ada rasa berbeda ketika membawa pulang buku dari toko. Rasanya seperti tokoh-tokoh intelektual yang kutipannya sering dijadikan reverensi obrolan ngalor-ngidul ketika masih muda—dan sesat—dulu yang tidak mengubah apapun baik pada diri sendiri atau lingkungan sekitar—kalaupun ada yang mengambil manfaat, paling hanya nyamuk-nyamuk yang berpesta karena ada anak muda duduk-duduk di pinggir trotoar, pojok taman, atau warung kopi.

Ada rasa yang nikmat ketika membuka sampul plastik yang secara akal tahu bahwa plastik itu akan tetap ada dan menjadi sampah puluhan atau bahkan ratusan tahun mendatang. Ada pula aroma kertas dan tinta yang secara akal juga tahu bahwa limbah pengolahan kertas itu sangatlah berat konsekuensinya bagi tanah jika tidak dikelola dengan baik.

Saking senangnya dengan segala pangalaman memiliki buku fisik baru, dalam satu malam tanpa terasa buku itu telah habis terbaca bahkan sampai tulisan-tulisan kecil yang ada di barcode sampul belakangnya. Luar biasa.

Dengan pengalaman itu, sepertinya sekarang saya tiba-tiba saja yakin bahwa masih akan ada harapan cerah di masa mendatang untuk emiten-emiten produsen kertas yang sahamnya diperjual-belikan di BEI. Tapi entah itu apa saya tidak tahu dan jangan tanya. Pokoknya ada harapan. Sama seperti dulu ketika yakin emiten-emiten yang sama, saya yakini sudah tidak ada masa depannya. Yang penting yakin.

Diperbaharui: 2022-01-30