Syaifur Rizal Sebuah jurnal

Take for Granted

Saya tiba-tiba saja terbangun di tengah malam beberapa waktu yang lalu dan yang tampak di mata saat itu hanya buram.

Istri yang berada di samping, kaget dan bertanya, “Ada apa?” Saya tidak menjawab dan langsung lari keluar dari kamar.

Kepala terasa pening dan saya tidak sanggup untuk berdiri tegak.

Dengan agak membungkuk dan sambil memegangi lutut, pelahan saya mencoba mengambil dan mengeluarkan nafas sedalam-dalamnya.

Tidak lama kemudian pandangan mata mulai normal kembali, dan istri yang sudah berdiri di samping saya bertanya lagi, “Ada apa? Mimpi buruk?”

Ndak,” jawab saya ketika itu.

Udara

Yang terjadi ketika itu adalah gara-gara salah posisi tidur. Akibat dari bantal yang seharusnya menyangga, malahan memberi tekanan berlebihan pada bagian leher yang berakibat beberapa saraf tertekan dan darah yang mengalir ke kepala terhambat.

Dengan terhambatnya aliran darah ke kepala, otomatis suplai oksigen pun ikut berkurang.

Otak terasa oleng seperti mabuk—mungkin begitu; gak pernah mabuk sih. Mata pun menjadi buram dan nafas menjadi berantakan karena kendali kembang-kempis paru-paru dari otak terhambat.

Sama seperti ketika Anda mengalami kesemutan di kaki. Ketika itu kaki menjadi susah digerakkan.

Hanya saja yang saya alami bukan di kaki, tapi di kepala. Dan karena di kepala ada otak, dan otak yang mengendalikan anggota tubuh yang lain, sinyal perintah kendali itu menjadi kacau.

Sempat terpikir andai saja ketika itu tidak segera terbangun. Mungkin saya sudah pingsan tanpa ada yang tahu atau bisa jadi dada goodbye.

Hal yang hampir sama dengan di atas sudah beberapa kali saya alami. Tiba-tiba terbangun di tengah malam dan lari keluar kamar—bahkan pernah sampai ke halaman—untuk segera mencari udara segar.

Seringnya terjadi ketika menginap di penginapan dan apes mendapatkan kamar tanpa jendela. Atau ketika menginap di penginapan edisi budget yang mirip loker.

Tapi yang dulu itu tidak karena bantal, melainkan karena kekurangan oksigen akibat sirkulasi udara yang buruk.

Keberlimpahan udara

Ketika seorang manusia terlahir di dunia, oksigen di udara sudah tersedia. Tinggal hirup dan buang karbondioksida hasil pembakaran energi di dalam tubuh. Begitu seterusnya hingga si manusia itu dewasa.

Mungkin dia teringat soal oksigen di udara hanya ketika pelajaran ilmu pengetahuan alam semasa duduk di bangku sekolah dasar. Sedangkan ketika sekolah menengah dan selanjutnya, bisa jadi dia sudah tidak peduli apa itu oksigen meski guru yang di depan kelas beberapa kali menyebut pentingnya fungsi oksigen bagi tubuh.

Dan itulah yang terjadi juga pada diri saya, “Siapa itu oksigen? Eh, apa itu oksigen?”

Jika bukan karena kejadian seperti malam itu, bisa jadi saya akan lebih teringat dengan naik dan turunnya harga saham di portfolio—berapa persen kenaikan total bersih aset di RDN mungkin akan selalu lebih menarik diperhatikan—ketimbang berapa persen kandungan oksigen di udara yang saya hirup.

Diperbaharui: 2021-10-11