Syaifur Rizal Sebuah jurnal

USDIDR Bull dan IHSG Rebound

Jumat, 20 Maret 2020 kemarin, IHSG ditutup dengan rebound. Rebound ini dipimpin oleh sektor Konsumer sebesar 7,78%, kemudian disusul oleh sektor Infrastruktur, Manufaktur, dan Industri Dasar. Sedangkan yang berada di posisi terakhir adalah sektor Industri Lain-lain dan Keuangan yang masing-masing sebesar -1,61% dan -1,40%. Emejing

Kalau dipas-pasin, sebenarnya tidak ada yang aneh. Sektor Konsumer sudah lama mengalami bearish dan hampir sama sekali tidak ada perlawanan yang berarti. Jadi wajar kalau sekarang sektor ini bisa naik daun; dan karena sektor Konsumer memiliki kaitan yang erat dengan sektor Manufaktur, wajar jika sektor Manufaktur juga mengalami rebound.

Yang paling menarik perhatian saya adalah sektor Pertambangan, terutama sektor Pertambangan Energi a.k.a. batubara. Mengingat seminggu kemarin harga minyak sedang hancur-hancurnya, agak aneh jika melihat sektor ini mengalami rebound. Kecuali ada dua hal yang mungkin menjadi pertimbangan para pelaku pasar, yaitu: mereka harus segera melakukan aksi buyback setelah melakukan short sell atau mereka mempertimbangkan nilai tukar USDIDR yang mengalami kenaikan yang signifikan.

Kemungkinan pertama, yes, memang aksi short sell kabarnya dilarang oleh BEI beberapa waktu lalu, tapi siapa yang tahu? Siapa saja di pasar bisa melakukan kontrak pinjam untuk dijual dan dikembalikan lagi dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengikuti prosedur BEI dengan berbagai cara tanpa perlu jual kosong.

Kemungkinan kedua adalah karena kenaikan nilai tukar USDIDR. Dengan naiknya nilai USD terhadap IDR, setidaknya bisa memberi sedikit nafas bagi emiten-emiten saham yang penghasilannya cukup besar dari pasar ekspor. Sederhananya adalah mayoritas biaya operasional mereka menggunakan IDR yang nilainya sedang turun, sedangkan pemasukan mereka berupa USD yang sedang naik daun.

IDR Murah

Mungkin di forum-forum akan banyak yang khawatir bahwa naiknya nilai tukar USDIDR ini adalah akibat dari aliran uang yang banyak keluar negeri. Yes, mungkin saja hal tersebut benar, tapi ada sudut pandang lain yang lebih menarik.

Jika benar ada banyak aliran uang ke luar negeri, uang siapakah itu? Apakah para investor asing yang kabur? Saya rasa kemungkinan tersebut sangat kecil.

Bagaimana mungkin mereka melakukan cut loss jika kondisi makro di luar negeri tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia?

Hampir semua bank sentral di seluruh negara di dunia melakukan aksi pemotongan suku bunga. Sedangkan di Indonesia, meskipun melakukan hal serupa, namun secara jumlah persen masih cukup tinggi dibandingkan negara-negara lain. Bukankah akan lebih masuk akal jika mereka menunggu dan melakukan average down ketika nilai tukar IDR sedang murah-murahnya relatif terhadap USD saat ini?

Jumlah Penduduk Indonesia, 5 Besar Terpadat di Dunia

Ekonomi berjalan jika ada konsumsi, nonsense jika hanya dilihat dari faktor produksi. Sejak awal tahun 2018, ketika saya mulai masuk di dunia investasi saham, saat itu sudah ramai dengan adanya trade war antara Amerika dan Tiongkok. Masing-masing dari mereka melakukan aksi saling menaikkan tarif impor untuk meminimalisir defisit perdagangan di antara keduanya.

Di sini ada kecenderungan munculnya sikap yang berseberangan dengan kampanye perdagangan bebas yang selama dua dekade dikampanyekan berbagai negara (kalau gak salah, hehehe…). Artinya akan sangat percuma jika suatu negara mampu melakukan produksi dalam jumlah yang masif tapi tidak tahu ke mana akan dijual barang-barang produksi tersebut. Kecuali jika mereka memiliki pasar domestik yang cukup besar.

Lockdown?

Tebak sendiri.

Beli, Jual, atau Bagaimana?

Njir, kalau ujung-ujungnya adalah pertanyaan ini, saya tidak tahu. Sungguh, saya tidak tahu. Wkwkwk…

Diperbaharui: 2023-08-21